“Sunnah Perubahan”

Agustus 12, 2008

Sepertinya semua orang sepakat bahwa “perubahan” (change) itu adalah satu kemestian. Bahasa Islamnya mungkin “sunnah”. Tentu saja bukan sekadar “tradisi” (tradition) melainkan sunnah. Artinya, perubahan dalam tubuh Islam merupakan hal yang inheren. Maka, ia menjadi sebuah kemestian.

Dalam Islam, perubahan (al-taghyir) identik dengan “pembaruan” (al-tajdid). Konsep taghyir ini berkaitan erat dengan usaha serius, bukan sekadar keinginan dan kemauan. Karena konsep ini benar-benar “Islami-Qur’ani”. Konsepnya dicetuskan oleh Allah s.w.t. di dalam Al-Qur’an. ‘Innallah laa yughayyiru maa biqawmin hattaa yughayyiruu maa bi’anfusihim’ (Qs. Al-Ra’du [13]: 11). Jadi, tidak ada perubahan secara instant.

Perubahan dalam Islam juga identik dengan individu dan komunal. Artinya, setiap individu harus punya pure goal (keinginan yang murni) untuk berubah ke arah kebaikan. Jika goal ini terbentuk, perubahan dapat dilakukan secara kolosal: besar-besaran atau lewat satu instansi dan komunitas.

Konsep ibda’ binafsika yang diajarkan oleh Nabi Muhammad s.a.w. adalah fondasi dasar bagi setiap individu untuk melakukan perubahan. Syeikh Musthafa Masyhur sering mengungkapkan dalam Fiqh al-Da’wah-nya satu konsep Islami ini: ashlih nafsaka wad’u ghayraka’. Perbaiki dahulu dirimu (niat, tujuan dan sasaran) lalu ajaklah orang lain melakukan hal yang sama.

Dalam tafsir al-Jalalain, Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin al-Suyuthi menjelaskan ayat di atas bahwa “Allah tidak akan mencabut nikmat-Nya dari mereka kecuali mereka merubah apa yang ada dalam diri mereka: dari satu kondisi yang baik (al-halah al-jamilah) menjadi dihiasi maksiat. Artinya, spirit perubahan itu menjadi satu kenikmatan yang luar biasa. Karena Allah meberikan jaminan di dalamnya. Jaminan untuk memberi jalan terbaik dalam rangka meraih dan mencapai kondisi yang lebih baik pula.

Syeikh Musthafa al-Maraghi dalam tafsirnya memberikan penjelasan yang cukup indah. Beliau menyatakan bahwa “Allah tidak akan merubah nikmat dan kesehatan dari satu kaum, lalu Dia menghilangkan dan menghancurkannya. Sampai mereka sendiri merubahnya: dengan cara saling menzalimi dan saling berbuat tidak adil. Juga lewat perbuatan jahat dan hal-hal yang menghancurkan dan menyuburkan kezaliman di tengah-tengah masyarakat. Yang pada gilirannya setiap komunitas “memangsa” yang lainnya, laiknya virus-virus yang menyerang manusia.

Artinya, perubahan itu tidak harus mengorbankan orang lain. Perubahan adalah demi kebaikan dan kepentingan orang banyak. Perubahan adalah lewat kejujuran dan penuh perhitungan. Perubahan yang dilakukan lewat kezaliman dan kelaliman hanya akan menuai badai kerusakan. Maka, dalam perubahan tidak diajarkan kamus ‘memancing di air keruh’. Perubahan juga tidak dapat dilakukan lewat aji mumpung: ‘memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan’. Yang jelas, perubahan tidak “menghalalkan” segala cara.

Sunnah perubahan dalam Islam itu melahirkan sikap optimis dan “dinamis”. Mental nrimo dan mengharapkan langit menurunkan “emas” adalah ilusi tak berdasar. Ini tidak sesuai dengan konsep perubahan dalam Islam. Islam mengajarkan “dinamisme” dalam kehidupan. Islam juga mengajarkan konsep ‘amal (bekerja dan beramal sesuai ilmu) juga kasab (mencari rezki secara maksimal, lewat pekerjaan yang diberikan secara profesional). Lewat konsep ini, Islam mengajarkan bahwa “dunia-akhirat” harus balance.

Suatu ketika, khalifah ‘Umar ibn Khattab masuk ke dalam masjid. Dia menemukan seorang pemuda yang sedang berdoa sembari mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan berkata: “Ya Rabb urzuqni, ya Rabb urzuqni”. Ya Allah penuhilah rezekiku, ya Allah penuhilah rezekiku. ‘Umar kemudian mengatakan: “Wahai pemuda, pergi kerja, jemput rezeki Allah. Sungguh, langit tidak akan menurunkan emas.”

Mungkin dari kita ada yang ingin menjadi pintar, maka syaratnya “perubahan”. Rubah kondisi kita yang malas menghampiri buku untuk dapat ‘bergelut’ dengan buku-buku. Orang miskin yang ingin kaya, juga harus melakukan perubahan. Mungkin ada yang salah dalam konsep mencari rezekinya selama ini. Orang yang ingin pintar tanpa belajar adalah angan-angan ngawur. Orang yang ingin kaya tanpa usaha adalah orang-orang yang salah jalur dan tak mengerti aturan dunia.

Lebih penting lagi: perubahan itu sifatnya gradual. Gradualitas perubahan ini merupakan sunnatullah. Lewat alam ini Allah mengajarkan konsep gradualitas perubahan. Dari sejak matahari terbit hingga terbenam, Allah mengajarkan konsep gradualitas. Pertumbuhan manusia, hewan dan tumbuhan juga mengindikasikan hal ini. Tidak ada yang ujug-ujug dan sim salabim langsung ada dan tersedia. Karena ini mustahil terjadi.

Dan Allah mengajarkan bahwa tidak ada yang “kekal” di dunia ini. Yang kekal adalah “perubahan” itu sendiri. Maka berubahlah. Sebelum semua kenikmatan dan kesempatan untuk berubah itu dicabut oleh Allah s.w.t. Yang tidak punya keinginan untuk berubah adalah menantang “sunnatullah”. Karena what does not change/ is the will to change. “Apa yang tidak berubah/adalah kehendak untuk berubah” kata Olson dalam The Kingfisher-nya. Maksudnya: setiap kita “wajib” berubah. [Q]


Mereka Membenci “Al-Qur’an”

Agustus 10, 2008

Aku tersentak ketika membuka situs idolaku www.hidayatullah.com (Minggu, 10 Agustus 2008). Diberitakan di dalamnya bahwa Lembaga Urusan Agama Turki “menutup” 1.817 kelas pembelajaran Al-Qur’an. Alasannya sangat simplistic: “Mereka tidak memiliki izin resmi dari pihak berwenang.”

(http://hidayatullah.co.id/index.php?option=com_content&task=view&id=7381&Itemid=1).

Luar biasa! Dan ini bukan hal yang “enah” dan baru. Karena Turki adalah negara “Sekuler Kaffah”. Murni sekuler. Aneh bin ajaib, jika kelas pembelajaran Al-Qur’an harus ditutup hanya karena tidak punya izin resmi. Jika begitu, lembaga urusan agama Turki tidak mengertai “kerjaannya” sendiri. Bahwa urusan agama harus mengerti anasir agama Islam, yaitu Al-Qur’an Al-Karim.

Sebagai negara sekuler “kaffah”, Turki harus membuang segala atribut yang berbau Islam. Bapak mereka sendiri, Musthafa Kamal Attaturk(1880-1938) memang sangat membenci Islam. Aku baru saja membeli buku Kamal Attaturk: Pengusung Sekulerisme dan Penghancur Khilafah Islamiyah (Juli, 2008) karya Dhabith Tarki Sabiq. Di dalamnya (hlm. 239) dinyatakan bahwa Attaturk dalam mengatur Turki memberlakukan dua hal penting: Undang-undang Sipil dan Sekulerisme. Yang pertama: penetapan tidak adanya kaitan antara negara dengan agama. Dan yang kedua: penjauhan atas apa yang dinakaman dengan Undang-Undang Sipil –dimana dialah yang membentuk hak-hak dasar dan ukurannya dalam masyarakat—dari hubungan dan hak-hak dasar dalam Islam.

Aku ingin mengutip satu kisah menarik mengenai sekulerisme dari buku di atas (hlm. 244). Dalam catatan harian Kilij Ali –yang merupakan salah seorang yang ikut celaka bersama Musthafa Kamal—bagaimana segala sesuatunya terlaksana dengan tipu muslihat dan di balik tabir moto yang samar, yang tidak diketahui bentuk sebenarnya:

“Persoalan sekulerisme telah dimunculkan pada salah satu rapat Majelis Pertama. Pada pertemuan hari itu, Musthafa Kamal yang memimpin Majelis. Tiba-tiba salah seorang ulama terkenal di Majelis naik ke mimbar, dengan gaya bahasa menyindir ia mulai berbicara, ‘Wahai kawan-kawan sekalian, sesungguhnya perkataan sekulerisme sudah ada dalam setiap bibir, tetapi aku –mohon maaf—tidak bisa memahami istilah ini.’

Mendengar ucapan itu, Musthafa Kamal selaku Pemimpin Majelis tidak dapat menahan diri. Ia segera memotong pembicaraannya dengan memukul meja sambil berkata, ‘Yang dimaksud dengan sekulerisme adalah kita hendaknya menjadi manusia wahai Syekh kami! Menjadi manusia!’ Inilah jawaban Musthafa Kamal terhadap jawaban Syekh.”

Sejak lama, Al-Qur’an memang –bukan hanya di Turki—menjadi “batu sandungan” bagi mereka yang tidak ingin diatur oleh isi dan kandungannya. Bagi mereka Al-Qur’an sangat membelenggu. Oleh karenanya, kaum sekuler banyak yang ‘mengekor’ dan ‘membebek’ kepada tradisi kaum kafir Quraisy di Mekah dahulu –kemudian dilanjutkan di Madinah al-Munawwarah. Kaum kafir Quraisy meminta Rasulullah s.a.w. agar “menukar” Al-Qur’an dengan kitab yang lainnya. Karena bagi mereka Al-Qur’an “mengekang” kebebasan jahiliyah. Mereka tidak bisa minum khamar; mereka tidak bisa lagi berjudi; mereka tidak bisa mengebiri “hak waris” dari kaum perempuan. Karena selama ini wanita menjadi komoditi yang digilir dan diwarisi.

Lihatlah apa yang dilakukan oleh tentara Amerika Serikat di Irak! Pasukan dari Pam Sam itu terbiasa menjadikan Al-Qur’an sebagai “sasaran tembak atau latihan tembak-menembak”. Di penjara “biadab” Guantanamo, Al-Qur’an sudah biasa dimasukkan ke closed atau sekadar menjadi tissue untuk membersihkan sepatu para tentara di sana. Apakah itu yang dinamakan dengan “menjunjung tinggi” Hak Azasi Manusia (HAM)?

Masih segar dan hangat dalam memori umat Islam, bagaimana kebencian Greet Wilders dari Belanda. Anggota wakil rakyat liberal asal negeri Kincir Angin itu banyak memutar-balikkan ayat-ayat Al-Qur’an. Dia bukan tidak mengerti keagungan Al-Qur’an, tapi karena “membenci” Al-Qur’an. Maka ayat-ayat yang benar pun menjadi “salah”. bagi orang yang sati tipe dengan Wilders yang salah bukan ilmu dan pengetahuannya, melainkan pemahamannya. Pemahamannya sudah “sakit kronis”. Bagi mereka tepat sekali dibacakan pepatah ini, ‘Kam min a’ibin qaulan shahihan, wa afatuhu min al-fahm al-saqim’. “Berapa banyak orang yang mencela perkataan yang benar, karena pemahamannya sudah sakit”.

Di Indonesia, orang-orang yang membenci Al-Qur’an pun semakin menjamur. Dimana-mana bermunculan para penghujat Al-Qur’an. Adagium dan diktum mereka pun bermacam-macam. Ada yang menyatakan bahwa Al-Qur’an itu adalah ‘muntaj tsaqafi’, ‘cultural product’ alias “produk budaya”. Ada juga yang menyebut Al-Qur’an dari sampul depan sampai belakang “bukan” Al-Qur’an. Maka dia tidak tepat disebut sebagai firman Allah secara verbatim. Ada pula yang mengusulkan untuk menemukan Al-Qur’an “edisi kritis” (a critical edition of the Qur’an). Bahkan ada yang berani menyamakan Al-Qur’an dengan Bible. Karena keduanya “produk” sejarah. Sama-sama tidak sempurna dan sama-sama punya problem. Semuanya bermuara pada satu sungai: “sungai kebencian”. Meskipun kalau dilihat dan diteliti, pendapat mereka murni “jiplakan” dan “asimilasi” dari pemikiran dan ide orientalis Barat.

Babak kebencian terhadap Al-Qur’an tidak akan pernah berakhir. Ia akan terus berlanjut. Aku selalu meyakini bahwa: Nabi Muhammad memang lahir di samping Ka’bah, tapi jangan lupa bahwa Abu Jahal dan Abu Lahab juga sama-sama lahir di Ka’bah. Artinya, dimana ada “kebenaran” di sana pula ada “kebatilan”. Namun, kita harus meyakini satu undang-undang yang sudah valid dari Allah: ‘wa qul ja’al haqqu wa zahaqal bathil, innal bathila kana zahuqan’ (Qs. Al-Isra’ [17]: 81). Kebenaran lah yang pertama kali muncul ke permukaan bumi, maka kebenaran pula yang akan bertahan. Bukankah Al-Qur’an berisi segala macam kebenaran? Dia turun dari Allah yang Mahabenar (al-Haqq); dibawa oleh malaikat Jibril yang selalu menyampaikan wahyu kebenaran; diturunkan ke dalam hati sang Nabi Kebenaran (Muhammad s.a.w.); diperuntukkan kepada umat yang cinta kebenaran. Maka, kebenaran akan selalu dibela dan dimenangkan. [Q]


Surat Terbuka Kepada Bapak Presiden

Agustus 5, 2008

“Surat Terbuka Kepada Bapak Presiden”

Assalamu’alaikum Warahmatullahi wa Barakatuh!

Aku berharap, lewat surat ini, Bapak Presidenku sekeluarga dan seluruh jajaran pengurus wakil rakyat dalam keadaan sehat wal’afiat dan senantiasa dalam lindungan Allah s.w.t. Amin ya Rabbal ‘Alamin.

Mungkin ini suratku yang kedua, setelah surat yang pertama tentang penyikapan terhadap film-filam yang sudah ‘meracuni’ generasi muda. Kali ini aku ingin juga menyampaikan uneg-unegku mengenai “akidah kita”, akidah umat Islam. Karena aku tahu benar, Presidenku adalah seorang Muslim sejati. Muslim yang penuh komitmen terhadap akidah ini.

Bapak Presiden yang terhormat, akhir-akhir ini isu Ahmadiyah mencuat kembali. Banyak yang menggugat SKB Tiga Mentri, yang menurut salah seorang umat Islam, adalah ‘banci’. Bahkan umat Islam mengancam untuk tidak memilih Bapak pada periode berikutnya? Bapak tahu kenapa umat Islam melakukan itu semua?

Mereka melakukan itu semua bukan “intoleran”. Mereka melukannya karena cinta kepada akidah Islam, cinta Allah, cinta Al-Qur’an dan Rasulillah s.a.w. Karena Allah menjelaskan bahwa Al-Qur’an kitab terakhir, lha kok Ahmadiyah bikin kitab baru yang namanya “Tadzkirah: ya’ni Wahyun Muqaddasun”. Allah juga menjelaskan bahwa Rasulullah s.a.w. itu “khatam al-nabiyyin” (penutup para nabi), lha kok beraninya Mirz Ghulam Ahmad mengaku “nabi” setelah Rasulillah.

Itulah yang membuat umat Islam “marah” kepada Bapak. Aku juga Muslim, aku pun “marah” kepada Bapak. Kenapa organisasi yang “merusak” akidah kita dibiarkan hidup berkeliaran. Mereka sedang mengotori, merusak dan mencabik-cabik akidah kita Pak Presiden.

Pada zaman khalifah Abu Bakar Siddiq, Musailamah al-Kadzdzab “dibunuh”, karena mengaku “nabi”. Bahkan Musailamah berani membuat ayat-ayat palsu, untuk menandingi ayat-ayat Al-Qur’an. Mirza dan Ahmadiyah-nya juga tidak beda Bapak Presiden. Ataukah Bapak belum membaca “Tadzkirah”nya si Mirza? Saya memilikinya Pak. Saya sudah baca dan sangat merusak kesucian Al-Qur’an.

Bapak memang bukan Abu Bakar. Tapi dalam surat pertama dulu saya pernah meminta Bapak agar menjadi ‘Umar ibn Abdil Aziz. Orang munafik yang tidak membayar zakat saja “diperangi” oleh Abu Bakar. Konon lagi yang mengaku “nabi”. Tapi sekarang apa yang terjadi negara kita?

Bapak seharusnya bertanggungjawab atas akidah umat mayoritas ini. Apakah Bapak masih bingung untuk mengeluarkan “keppres”? Apakah Bapak masih mendengarkan pendapat sebagian orang bahwa Ahmadiyah itu “Islam”? Atau kata-kata orang liberal yang menyatakan bahwa berikan “kebebasan” beragama dan berkeyakinan, karena undang-undangnya ada yang mengatur hal itu? Apakah Ahmadiyah termasuk kepada yang mengamalkan “kebebasan” itu? Tidak! Sama sekali tidak. Ahmadiyah menggunakan “kebebasan” untuk merusak agama lain, agama kita Pak: Agama Islam kita Pak! Agama Islam kita Pak! Agama Islam kita Pak!

Aku berharap masalah ini jangan ditangguhkan. Aku memohon agar segela Bapak menyelesaikannya. Jika tidak, akidah ku, akidah Bapak, akidah kita seluruh umat Islam akan mudah dirusak dan dihancurkan oleh orang-orang yang memang membenci umat nabi Muhammad yang mulia ini. Di Pakistan saja Ahmadiyah dianggap di luar Islam (minoritas). Sampai hari ini Saudi Arabia tidak mengizikan seorang “Ahmadi” untuk menunaikan ibadah haji. Lalu kenapa di Indonesia malah dibiarkan?

Terakhir saya ingin memberikan catatan realitas negara kita. Negara kita ini Bapak Presiden, menjadi ‘lahan subur’ tumbuhnya aliran-aliran sesat:

Lia Aminuddin mengaku “Jibril” dan anaknya dianggap sebagai “Imam Mahdi”

Ahmad Moshaddeq mengaku “nabi”, alirannya Al-Qiyadah Al-Islamiyah

Mirza Ghulam Ahmad dianggap nabi dan Ahmadiyah diakui.

Itu tiga “isu besar” dan sentral dalam catatan kesesatan di negara kita Bapak Presiden. Jangan tunggu muncul aliran-aliran sesat yang lain. Karena kita tidak mau negara ini menjadi “negara sesat”, apalagi “menyesatkan”.

Demikian surat ini saya tulis. Semoga Bapak dan memahaminya dengan ‘mata hati’ yang bersih. Hari ini aku membaca Koran Republika (Selasa, 5 Agustus 2008) tentang aksi protes agar Bapak membubarkan Ahmadiyah itu. ‘Bubarkan Ahmadiyah dengan Keppres’, demikian bunyi lead di sebelah rubrik “Resonansi” itu. Di bawahnya tertulis, “Presiden jangan menggunakan ‘ilmu abu-abu’ terhadap masalah umat Islam”.

Salam sayang penuh takzim,

Orang yang sangat mencintai Allah dan rasul-Nya, Al-Qur’an dan agama-Nya serta akidah umat Islam,

Qosim Nursheha Dzulhadi

qosim-deedat@yahoo.com