Muhammad dan Fenomena Pencemaran Islam

Selasa, 08 Pebruari 2005 Buku, “Prophet of Doom: Islam’s Terorist Dogma, In Muhammad’s Own Words” berusaha mencemarkan Nabi. Tapi ini fenomena model kuno perilaku penulis Barat Oleh

Qosim Nursheha Dzulhadi *)

Koran Mesir, Sout Elomma, (31/1) lalu menulis artikel menarik berjudul “Perang Salib Bush”: Harb Bush al-Shalîbiyah Qâdimah, Amrîkâ Tuhînu al-Nabiyya Muhammad!. Tulisan ini, mengulas tentang semakin banyaknya para peneliti Barat yang tercemari semangat kecurigaan terhadap Islam. Fenomena inilah kiranya yang dilakukan oleh banyak penulis Barat sampai hari ini hingga lahir istilah ‘mohammadenism’ dengan cara usaha pengaburan citra Nabi Muhammad SAW.

Adalah Craig Winn yang menuduh Nabi Muhammad sebagai teroris. Ide bodohnya ini ia tuangkan dalam bukunya Muhammad, Prophet of Doom: Islam’s Terorist Dogma, In Muhammad’s Own Words.

Dalam sebuah pernyataannya, ia menuliskan: “Islam rises and falls on Muhammad. He is the religion’s sole prophet, Islam’s solitary example, Allah’s lone conduit. Without Muhammad, Allah, the Qur’an, and Islam would be unknown. Yet the picture the Islamic scriptures paint of this man is not flattering; his words aren’t believable. According to the Qur’an and Hadith, Muhammad was a thief, rapist, and terrorist. It’s hardly the example you’d want your neighbor to emulate.

Muhammad, Allah, Mecca, and the formation of Islam are completely unknown to secular history. All we know of them is derived from the Qur’an and Hadith. The earliest and most important collection of Hadith is called the Sira, or Biography. Compiled by Ibn Ishaq, the Sira provides the only written account of this man, his god, place and religion within two centuries of his death. There is no other valid source from which Muhammad can be seen, or Islam can be interpreted, differently.

Dalam ungkapan yang cukup provokatif, koran Sout Elomma, (Mesir) menggambarkan fenomena munculnya buku tersebut sebagai bentuk ‘Perang Salib Bush’. Dalam berita yang ditulis oleh Yusra Zahran Ahamd Abdul Maqsoud menyatakan; “Kiranya ide ‘Islam Setan’ yang merasuki otak penulis Amerika Craig Winn ini. Ia mempublikasikan bukunya Prophet of Doom (Rasûl al-Halâk) dengan menyatakan bahwa Iblis-lah yang mewahyukan al-Qur’an kepada Nabi saw”.

Buku Craig Winn merupakan salah satu buku bestseller di Amerika akhir-akhir ini. Ia berteori bahwa Islam merupakan agama yang mengajarkan (umatnya) untuk menghancurkan peradaban Amerika dan merubah Barat ke dalam sistem Islam. Bukan hanya itu, Winn juga menyatakan bahwa Aisyah yang menciptakan agama yang namanya Islam itu (Sout Elomma,, 31/1/2005). Kita tidak tahu Winn membaca buku apa sehingga ia dapat berkonklusi seperti itu.

Dari uraian singkat di atas, kita dapat menyimpulkan beberapa poin; Pertama, fenonema Islamophobia masih menghantui masyarakat Barat hingga hari ini. Hal ini tampak nyata ketika segala bentuk simbol yang berbau Islam dicurigai, bahkan bila perlu dihilangkan.

Kasus pelecehan jilbab di negeri Napoleon Bonaparte adalah satu bukti nyata. Betapa Islam merupakan ‘momok’ yang menakutkan bagi Barat. Sehingga tidak heran jika kebiasaan orang Arab yang memelihara ‘jenggot’ masih dimasukkan ke dalam daftar ciri-ciri teroris dunia. Apakah Craig Winn takut kepada prediksi Budayawan Besar Inggris, George Bernard Shaw yang menyatakan: “If any religion has chance of qonquering England, nay Europe within the next hundred years, that religion is Islam” (Ahmed Deedat, The Choice: 89). Sehingga ia cepat-cepat memberikan kesan buruk kepada pembawa agama Islam itu.

Kedua, hingga hari ini, fenomena ‘manusia cenderung memusuhi apa yang tidak diketahuinya’ masih bercokol di Barat. sepertinya mereka baru mengenal sosok Muhammad ketika Craig mempublikasikan bukunya itu. Penyakit inilah kiranya yang menjangkiti Craig Winn dalam bukunya itu. Craig Winn kurang cerdas dalam membaca tulisan pendahulunya tentang biografi Muhammad. Ia “telat antiklimaks” jika menyimpulkan bahwa Muhammad adalah teroris dan sosok yang haus darah. Padahal Michael T. Hart dalam bukunya The Greatest Hundred in History (The Top 100) memposisikan Muhammad sebagai orang nomor satu dalam deretan nama-nama tokoh besar dalam sejarah. Bahkan Yesus hanya menempati posisi ketiga setelah Isaac Newton.

Namun hal ini dapat dimaklumi, karena Craig Winn ternyata bukan sejarawan atau seorang pemikir. Dia hanyalah seorang banyak bergelut dalam marketing dan urusan finansial. Bahkan ia memulai karirnya sebagai seorang Manufacturers’ Representative.

Ketiga, apa yang diungkapkan oleh William E. Phipps dalam bukunya di atas adalah benar. Kecenderungan Barat dalam menerima pencemaran nama baik seseorang begitu mudah, tanpa filter. Hal ini terbukti dengan banyaknya Craig Winn dalam meraup keuntungan dari bukunya itu. Padahal bukunya hanya didasarkan pada ekspresi kebencian kepada Nabi Islam yang agung itu.

Apa yang dipublikasikan oleh Craig Winn lewat bukunya –yang berusaha mencemarkan Islam– bagi kalangan Muslim bukanlah hal yang baru. Ia hanya model baru dari old stock.

William E. Phipps dalam bukunya Muhammad and Jesus: A Comparison of Prophets and Their Teachings (Mizan, 2001: 17) menyatakan, bahwa dalam agama, seperti juga politik, mencemarkan nama pemimpin lawan biasa dilakukan. Meski lemah, cara ini sering kali efektif untuk mempromosikan kepentingan sendiri. Montgomery Watt, kutipnya, seorang uskup sekaligus ahli biografi kontemporer tentang Muhammad yang dihormati secara luas, mencatat:

“Tidak ada tokoh besar sejarah yang mendapat apresiasi sedemikian menyedihkan kecuali Muhammad. Sebagian besar penulis Barat cenderung mempercayai yang terburuk tentang Muhammad, dan jika interpretasi yang tak menyenangkan, namun kelihatan masuk akal, mereka cenderung menerimanya sebagai fakta”.

Fenomena inilah kiranya yang dilakukan oleh banyak penulis Barat hingga hari ini. Terma ‘mohammadenism’ yang diusung oleh Margoliouth tidak lain adalah usaha pengaburan citra Nabi Agung Muhammad saw. Seolah-olah ia ingin mengatakan kepada dunia bahwa Islam adalah produk Muhammad. Karena, sebagaimana yang diterjemahkan oleh Muhammad Qutb dalam bukunya Al-Mustasyriqûn wa Al-Islâm (1999: 136), kata ‘mohammadenism’ padanan kata Arabnya adalah ‘al-diyânah al-muhammadiyah’.

Bahkan dalam bukunya Universal History of the World, Margoliouth menuliskan dua poin penting, salah satunya adalah bahwa Rasul saw adalah orang tidak diketahui nasabnya, karena ia dinamakan Muhammad bin Abdullah. Dan orang Arab menyematkan nama kepada orang yang tidak diketahui nasabnya dengan nama Muhammad (Ibid., hlm: 152).

Istilah lain adalah adalah Ma hound (Anjingku). Bandingkan dengan kata Mahomed dan bentuk Mahound. Kata ‘Ma’ menurut Muhammad Qutb adalah bentuk kata ganti ownership (dlamîr al-milk) untuk orang pertama tunggal (Aku). Dan “Hound” dari kata “Hund”, bahasa Jerman, yang berarti ‘anjing’ (Ibid., hlm. 29).

Umat Islam tidak akan pernah terkecoh oleh isu murahan seperti itu. Namun, tentu saja umat Islam harus tetap klarifikatif dalam menerima dan menampung berbagai isu. Apalagi isu itu datangnya dari orang yang fasik, karena itu adalah kewajiban agama dan perintah Ilahi. Semoga .(Kairo, 7 Februari 2005)

Penulis adalah Mahasiswa Universitas Al-Azhar, Cairo-Mesir, Fakultas Ushuluddin-Jurusan Tafsir

Tinggalkan komentar